Selasa, 09 April 2013

Makalah Pengembangan Kurikulum tentang Perubahan Kurikulum



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Upaya dalam peningkatan mutu pendidikan banyak dilakukan, sehingga dalam hal ini langkah awal yang dilakukan pemerintah dalam membenahi keberadaan pendidikan salah satunya adalah dengan pembenahan di bidang proyek penelitian nasional pendidikan, sehingga diharapkan dengan kegiatan ini akan dapat memecahkan masalah pendidikan yang menyangkut masalah peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan, masalah esensial dan efektifitas yang berhubungan dengan proses belajar mengajar. Dengan demikian keberadaan pendidikan bisa beradaptasi selaras dengan perkembangan zaman sehingga dengan ini mampu menaikkan harkat, martabat manusia.

B. Rumusan Masalah
1. Menjelaskan indikator proses belajar mengajar itu dikatakan berhasil.
2. Menjelaskan kelemahan-kelemahan pendidikan agama Islam di sekolah.
3. Menjelaskan tentang solusi terhadap peningkatan kualitas pendidikan agama Islam.










BAB II
Isi Pembahasan
Adapun arah dan tujuan dalam program pendidikan ditegaskan dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, yaitu :
Pendidikan Nasional bertujuan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[1]
Dalam pelaksanaanya, suatu lembaga pendidikan selalu ingin menghasilkan lulusan-lulusan ataupun out put yang baik, berkualitas, memiliki prestasi belajar yang bagus dan bisa diandalkan. Seorang siswa yang berhasil dalam menuntut ilmu tidak cukup dinilai hanya berhasil di bidang  akademisnya saja, menduduki peringkat atas di kelasnya atau prestasi lain di sekolah yang pernah diraihnya, akan tetapi harus dilihat pula dari sisi kualitas kepribadiannya, kedalaman ilmu yang dikuasainya, penghayatan dan pengamalan etos belajar, keluhuran akhlaq dan tingkah laku kesehariannya, apakah sesuai dengan norma dan etika agama atau tidak? Selain itu keberhasilan pendidikan itu dapat kita lihat dari beberapa hal, diantaranya: tercapainya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan, seperti pada perolehan nilai akhir yang memuaskan. Namun,  yang paling utama adalah  adanya perubahan sikap perilaku yang menonjol pada diri peserta didik dengan adanya perubahan pola pemikiran atas dasar pengetahuan ataupun ilmu yang telah didapat dari guru, dari pengalaman atau lingkungan sekitarnya, sehingga keberadaan pendidikan bagi seorang anak atau siswa sangat berpengaruh bagi perkembangan anak di usia selanjutnya.
Ada beberapa indikator proses belajar mengajar itu dikatakan berhasil, diantaranya adalah, siswa:
1.   Menguasai ilmu pengetahuan dari pelajaran-pelajaran yang telah diberikan guru serta memiliki keterampilan sesuai bakat dan minatnya.
2.   Terbiasa dengan cara berpikir ilmiah (sesuai logika) serta mempunyai ide dan pemikiran atau pendapat yang dapat diterima oleh banyak orang dan bisa dipertanggungjawabkan.
3.   Mempunyai perilaku yang mencerminkan pribadi yang mandiri, sportif serta memiliki pendalaman agama yang cukup kuat.
4.   Mampu menjadi anggota masyarakat yang baik, peduli dengan lingkungan, mempunyai rasa sosial yang tinggi serta peduli terhadap orang lain terutama terhadap orang tua, saudara dan keluarga.
5.   Mampu menunjukkan kecintaannya terhadap ilmu serta menghayati hikmah-hikmahnya.[2]
Terkait dengan hal tersebut, banyak kritik yang mengatakan adanya kelemahan serta kekurangan dalam pelaksanaan serta keberadaan Pendidikan Agama Islam. Menurut Muchtar Buchori kegagalan pendidikan agama Islam disebabkan karena praktik pendidikannya hanya memperhatikan aspek kognitif semata dari pertumbuhan kesadaran nilai-nilai (agama), dan mengabaikan pembinaan aspek afektif dan konatif-volitif, yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama Islam. Akibatnya, terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan pengamalan, antara gnosis dan praxis dalam kehidupan nilai agama. Dalam pendapat yang lain beliau menyatakan, bahwa kegiatan pendidikan yang berlangsung selama ini lebih banyak bersikap mandiri, kurang berinteraksi dengan kegiatan-kegiatan pendidikan lainnya, sehingga kurang efektif untuk penanaman suatu perangkat nilai yang kompleks.[3] Demikian juga dinyatakan oleh Soedjatmoko, bahwa  pendidikan agama harus berusaha berinteraksi dan bersinkronisasi dengan pendidikan non-agama. Pendidikan agama tidak boleh dan tidak dapat berjalan sendiri, tetapi harus berjalan bersama dan bekerja sama dengan program-program pendidikan non-agama kalau ingin mempunyai relevansi terhadap perubahan sosial yang terjadi di masyarakat.[4]
Sedangkan Towar mengatakan adanya kelemahan-kelemahan pendidikan agama Islam di sekolah, antara lain:
  1. Pendekatan masih cenderung normatif, dalam artian pendidikan agama menyajikan norma-norma yang sering kali tanpa ilustrasi konteks sosial budaya, sehingga peserta didik kurang menghayati nilai-nilai agama sebagai nilai yang hidup dalam keseharian.
  2. Kurikulum pendidikan agama Islam yang dirancang di sekolah sebenarnya lebih menawarkan minimum kompetensi atau minimum informasi, tetapi pihak guru PAI seringkali terpaku padanya, sehingga semangat untuk memperkaya kurikulum dengan pengalaman belajar yang bervariasi kurang tumbuh.
  3. Sebagai dampak yang menyertai situasi tersebut diatas, maka guru PAI kurang berupaya menggali berbagai metode yang mungkin bisa dipakai untuk pendidikan agama, sehingga pelaksanaan pendidikan cenderung monoton.
  4. Keterbatasan sarana dan prasarana, sehingga pengelolaan cenderung seadanya. Pendidikan agama yang diklaim sebagai aspek yang penting seringkali kurang diberi prioritas dalam urusan fasilitas.[5]
Atho' Mudzhar juga mengemukakan bahwa merosotnya moral dan akhlaq peserta didik disebabkan antara lain akibat kurikulum pendidikan agama yang terlampau pada materi, dan materi tersebut lebih mengedepankan aspek pemikiran ketimbang membangun kesadaran beragama yang utuh, selain itu metodologi pendidikan agama kurang mendorong penjiwaan terhadap nilai-nilai keagamaan serta terbatasnya bahan-bahan bacaan keagamaan.[6]
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwasannya yang menjadi kelemahan dan menjadi bahan kritik terhadap pelaksanaan pendidikan agama Islam lebih bermuara pada aspek metodologi pembelajaran PAI dan orientasinya yang lebih bersifat normatif, teoritis dan kognitif, termasuk didalamnya juga aspek dari guru yang kurang mampu mengaitkan dan berinteraksi dengan mata pelajaran dan guru non-pendidikan agama, selain itu juga muatan kurikulum atau materi pendidikan agama, sarana dan prasarana termasuk di dalamnya buku-buku pendukung dan bahan-bahan ajar pendidikan agama. Namun dalam hal ini yang lebih disoroti adalah menyangkut kemampuan guru dalam menyampaikan serta dalam mentransfer ilmunya kepada para peserta didik.
Dari sini, maka perlu adanya solusi terhadap keberadaan pendidikan agama Islam yang sedemikian rupa, karena dengan belajar dari pengalaman sebelumnya, maka diharapkan ada suatu pembaharuan baik dari segi isi, cara maupun sarana dan prasarana pendukung untuk mengatasi masalah tersebut, sehingga nantinya pendidikan agama Islam sedikit demi sedikit akan berkembang dan dapat mencapai tujuan pendidikan secara sempurna.
Terkait dengan kemampuan dan potensi guru dalam menyampaikan materi pelajaran, maka tidak menutup kemungkinan guru memiliki trik maupun cara tersendiri dalam menyampaikan isi materi pelajaran. Sehingga dengan cara ini, guru dituntut memiliki segudang cara ataupun strategi aktif yang dapat diterapkan dalam kegiatan pembelajaran, karena strategi pembelajaran tersebut menyangkut kegiatan yang ada ataupun saat kegiatan belajar mengajar berlangsung di dalam kelas,  dan kegiatan di luar kelas atau kegiatan belajar mengajar di luar jam pelajaran.
Di dalam prosesnya, keberadaan peserta didik banyak dipengaruhi oleh keberadaan guru. Di mana guru sebagai salah satu sumber ilmu juga dituntut kemampuannya untuk dapat mentransfer ilmunya kepada para peserta didik dengan menggunakan berbagai ilmu ataupun metode serta alat yang dapat membantu tercapainya suatu kegiatan pembelajaran, yang dalam hal ini salah satunya adalah adanya penggunaan strategi yang beraneka macam, cocok serta tepat untuk diterapkan kepada peserta didik.
Adapun tujuan adanya strategi menurut Abu Ahmadi adalah pertama; agar para pendidik dan calon pendidik mampu melaksanakan dan, serta mengatasi program dan permasalahan pendidikan dan pengajaran, kedua; agar para pendidik dan calon pendidik memiliki wawasan yang utuh, lancar, terarah, sistematis, dan efektif.[7]













BAB III
Penutup
Kesimpulan
Bahwasannya yang menjadi kelemahan dan menjadi bahan kritik terhadap pelaksanaan pendidikan agama Islam lebih bermuara pada aspek metodologi pembelajaran PAI dan orientasinya yang lebih bersifat normatif, teoritis dan kognitif, termasuk di dalamnya juga aspek dari guru yang kurang mampu mengaitkan dan berinteraksi dengan mata pelajaran dan guru non-pendidikan agama, selain itu juga muatan kurikulum atau materi pendidikan agama, sarana dan prasarana termasuk di dalamnya buku-buku pendukung dan bahan-bahan ajar pendidikan agama.
Dari sini, maka perlu adanya solusi terhadap keberadaan pendidikan agama Islam yang sedemikian rupa, karena dengan belajar dari pengalaman sebelumnya, maka diharapkan ada suatu pembaharuan baik dari segi isi, cara maupun sarana dan prasarana pendukung untuk mengatasi masalah tersebut, sehingga nantinya pendidikan agama Islam sedikit demi sedikit akan berkembang dan dapat mencapai tujuan pendidikan secara sempurna.







DAFTAR PUSTAKA
UU RI, 2006, Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas, Bandung : Citra Umbara.

Sofchah Sulistyowati, 2001, Cara Belajar Yang Efektif dan Efisien, Pekalongan : Cinta Ilmu.

Muhaimin, 2005, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah Madrasah dan Perguruan Tinggi, Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya, 1997, Strategi Belajar Mengajar, Bandung : Pustaka Setia.



[1] UU RI, Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas, Bandung : Citra Umbara, 2006, 72.

[2] Sofchah Sulistyowati, Cara Belajar Yang Efektif dan Efisien, Pekalongan : Cinta Ilmu, 2001, 91.
[3] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah Madrasah dan Perguruan Tinggi, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005, 23.
[4] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah Madrasah dan Perguruan Tinggi, 24.
[5] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah Madrasah dan Perguruan Tinggi, 25.
[6] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah Madrasah dan Perguruan Tinggi, 26.
[7] Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya, Strategi Belajar Mengajar, Bandung : Pustaka Setia, 1997, 5.

0 komentar:

Posting Komentar