BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Upaya dalam peningkatan mutu pendidikan banyak
dilakukan, sehingga dalam hal ini langkah awal yang dilakukan pemerintah dalam
membenahi keberadaan pendidikan salah satunya adalah dengan pembenahan di
bidang proyek penelitian nasional pendidikan, sehingga diharapkan dengan
kegiatan ini akan dapat memecahkan masalah pendidikan yang menyangkut masalah
peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan, masalah esensial dan efektifitas
yang berhubungan dengan proses belajar mengajar. Dengan demikian keberadaan
pendidikan bisa beradaptasi selaras dengan perkembangan zaman sehingga dengan
ini mampu menaikkan harkat, martabat manusia.
B. Rumusan Masalah
1. Menjelaskan indikator proses belajar
mengajar itu dikatakan berhasil.
2. Menjelaskan kelemahan-kelemahan
pendidikan agama Islam di sekolah.
3. Menjelaskan tentang solusi terhadap peningkatan
kualitas pendidikan agama Islam.
BAB II
Isi Pembahasan
Adapun arah dan
tujuan dalam program pendidikan ditegaskan dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, yaitu :
Pendidikan Nasional bertujuan berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[1]
Dalam pelaksanaanya, suatu lembaga pendidikan
selalu ingin menghasilkan lulusan-lulusan ataupun out put yang baik,
berkualitas, memiliki prestasi belajar yang bagus dan bisa diandalkan. Seorang
siswa yang berhasil dalam menuntut ilmu tidak cukup dinilai hanya berhasil di
bidang akademisnya saja, menduduki peringkat atas di kelasnya atau
prestasi lain di sekolah yang pernah diraihnya, akan tetapi harus dilihat pula
dari sisi kualitas kepribadiannya, kedalaman ilmu yang dikuasainya, penghayatan
dan pengamalan etos belajar, keluhuran akhlaq dan tingkah laku kesehariannya,
apakah sesuai dengan norma dan etika agama atau tidak? Selain itu keberhasilan
pendidikan itu dapat kita lihat dari beberapa hal, diantaranya: tercapainya
tujuan pendidikan yang telah ditetapkan, seperti pada perolehan nilai akhir
yang memuaskan. Namun, yang paling utama adalah adanya perubahan
sikap perilaku yang menonjol pada diri peserta didik dengan adanya perubahan
pola pemikiran atas dasar pengetahuan ataupun ilmu yang telah didapat dari
guru, dari pengalaman atau lingkungan
sekitarnya, sehingga keberadaan pendidikan bagi seorang anak atau siswa sangat
berpengaruh bagi perkembangan anak di usia selanjutnya.
Ada beberapa
indikator proses belajar mengajar itu dikatakan berhasil, diantaranya adalah,
siswa:
1. Menguasai
ilmu pengetahuan dari pelajaran-pelajaran yang telah diberikan guru serta
memiliki keterampilan sesuai bakat dan minatnya.
2. Terbiasa
dengan cara berpikir ilmiah (sesuai logika) serta mempunyai ide dan pemikiran
atau pendapat yang dapat diterima oleh banyak orang dan bisa
dipertanggungjawabkan.
3. Mempunyai
perilaku yang mencerminkan pribadi yang mandiri, sportif serta memiliki
pendalaman agama yang cukup kuat.
4. Mampu
menjadi anggota masyarakat yang baik, peduli dengan lingkungan, mempunyai rasa
sosial yang tinggi serta peduli terhadap orang lain terutama terhadap orang
tua, saudara dan keluarga.
Terkait dengan hal tersebut, banyak kritik yang
mengatakan adanya kelemahan serta kekurangan dalam pelaksanaan serta keberadaan
Pendidikan Agama Islam. Menurut Muchtar
Buchori kegagalan pendidikan agama Islam disebabkan karena praktik
pendidikannya hanya memperhatikan aspek kognitif semata dari pertumbuhan
kesadaran nilai-nilai (agama), dan mengabaikan pembinaan aspek afektif dan konatif-volitif,
yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama Islam.
Akibatnya, terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan pengamalan, antara gnosis
dan praxis dalam kehidupan nilai agama. Dalam pendapat yang lain
beliau menyatakan, bahwa kegiatan pendidikan yang berlangsung selama ini lebih
banyak bersikap mandiri, kurang berinteraksi dengan kegiatan-kegiatan pendidikan
lainnya, sehingga kurang efektif untuk penanaman suatu perangkat nilai yang
kompleks.[3]
Demikian juga dinyatakan oleh Soedjatmoko,
bahwa pendidikan agama harus berusaha berinteraksi dan bersinkronisasi
dengan pendidikan non-agama. Pendidikan agama tidak boleh dan tidak dapat
berjalan sendiri, tetapi harus berjalan bersama dan bekerja sama dengan
program-program pendidikan non-agama kalau ingin mempunyai relevansi terhadap
perubahan sosial yang terjadi di masyarakat.[4]
Sedangkan Towar mengatakan adanya kelemahan-kelemahan
pendidikan agama Islam di sekolah, antara lain:
- Pendekatan masih cenderung normatif, dalam artian pendidikan agama menyajikan norma-norma yang sering kali tanpa ilustrasi konteks sosial budaya, sehingga peserta didik kurang menghayati nilai-nilai agama sebagai nilai yang hidup dalam keseharian.
- Kurikulum pendidikan agama Islam yang dirancang di sekolah sebenarnya lebih menawarkan minimum kompetensi atau minimum informasi, tetapi pihak guru PAI seringkali terpaku padanya, sehingga semangat untuk memperkaya kurikulum dengan pengalaman belajar yang bervariasi kurang tumbuh.
- Sebagai dampak yang menyertai situasi tersebut diatas, maka guru PAI kurang berupaya menggali berbagai metode yang mungkin bisa dipakai untuk pendidikan agama, sehingga pelaksanaan pendidikan cenderung monoton.
- Keterbatasan sarana dan prasarana, sehingga pengelolaan cenderung seadanya. Pendidikan agama yang diklaim sebagai aspek yang penting seringkali kurang diberi prioritas dalam urusan fasilitas.[5]
Atho' Mudzhar juga mengemukakan
bahwa merosotnya moral dan akhlaq peserta didik disebabkan antara lain akibat
kurikulum pendidikan agama yang terlampau pada materi, dan materi tersebut
lebih mengedepankan aspek pemikiran ketimbang membangun kesadaran beragama yang
utuh, selain itu metodologi pendidikan agama kurang mendorong penjiwaan
terhadap nilai-nilai keagamaan serta terbatasnya bahan-bahan bacaan keagamaan.[6]
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwasannya yang
menjadi kelemahan dan menjadi bahan kritik terhadap pelaksanaan pendidikan
agama Islam lebih bermuara pada aspek metodologi pembelajaran PAI dan
orientasinya yang lebih bersifat normatif, teoritis dan kognitif, termasuk
didalamnya juga aspek dari guru yang kurang mampu mengaitkan dan berinteraksi
dengan mata pelajaran dan guru non-pendidikan agama, selain itu juga muatan
kurikulum atau materi pendidikan agama, sarana dan prasarana termasuk di
dalamnya buku-buku pendukung dan bahan-bahan ajar pendidikan agama. Namun dalam hal ini yang lebih disoroti adalah menyangkut
kemampuan guru dalam menyampaikan serta dalam mentransfer ilmunya kepada para
peserta didik.
Dari sini, maka perlu adanya solusi terhadap keberadaan
pendidikan agama Islam yang sedemikian rupa, karena dengan belajar dari
pengalaman sebelumnya, maka diharapkan ada suatu pembaharuan baik dari segi
isi, cara maupun sarana dan prasarana pendukung untuk mengatasi masalah
tersebut, sehingga nantinya pendidikan agama Islam sedikit demi sedikit akan
berkembang dan dapat mencapai tujuan pendidikan secara sempurna.
Terkait dengan kemampuan dan potensi guru dalam
menyampaikan materi pelajaran, maka tidak menutup kemungkinan guru memiliki
trik maupun cara tersendiri dalam menyampaikan isi materi pelajaran. Sehingga
dengan cara ini, guru dituntut memiliki segudang cara ataupun strategi aktif
yang dapat diterapkan dalam kegiatan pembelajaran, karena strategi pembelajaran
tersebut menyangkut kegiatan yang ada ataupun saat kegiatan belajar mengajar
berlangsung di dalam kelas, dan kegiatan di luar kelas atau kegiatan
belajar mengajar di luar jam pelajaran.
Di dalam prosesnya, keberadaan peserta didik banyak
dipengaruhi oleh keberadaan guru. Di mana guru sebagai salah satu sumber ilmu
juga dituntut kemampuannya untuk dapat mentransfer ilmunya kepada para peserta
didik dengan menggunakan berbagai ilmu ataupun metode serta alat yang dapat
membantu tercapainya suatu kegiatan pembelajaran, yang dalam hal ini salah
satunya adalah adanya penggunaan strategi yang beraneka macam, cocok serta
tepat untuk diterapkan kepada peserta didik.
Adapun tujuan adanya strategi menurut Abu Ahmadi adalah pertama; agar para
pendidik dan calon pendidik mampu melaksanakan dan, serta mengatasi program dan
permasalahan pendidikan dan pengajaran, kedua; agar para pendidik dan calon
pendidik memiliki wawasan yang utuh, lancar, terarah, sistematis, dan efektif.[7]
BAB III
Penutup
Kesimpulan
Bahwasannya yang menjadi kelemahan dan menjadi
bahan kritik terhadap pelaksanaan pendidikan agama Islam lebih bermuara pada
aspek metodologi pembelajaran PAI dan orientasinya yang lebih bersifat
normatif, teoritis dan kognitif, termasuk di dalamnya juga aspek dari guru yang
kurang mampu mengaitkan dan berinteraksi dengan mata pelajaran dan guru
non-pendidikan agama, selain itu juga muatan kurikulum atau materi pendidikan
agama, sarana dan prasarana termasuk di dalamnya buku-buku pendukung dan
bahan-bahan ajar pendidikan agama.
Dari sini, maka perlu adanya solusi terhadap
keberadaan pendidikan agama Islam yang sedemikian rupa, karena dengan belajar
dari pengalaman sebelumnya, maka diharapkan ada suatu pembaharuan baik dari
segi isi, cara maupun sarana dan prasarana pendukung untuk mengatasi masalah
tersebut, sehingga nantinya pendidikan agama Islam sedikit demi sedikit akan
berkembang dan dapat mencapai tujuan pendidikan secara sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
UU RI, 2006, Undang-undang No. 20
Tahun 2003 Tentang Sisdiknas, Bandung : Citra Umbara.
Sofchah Sulistyowati, 2001, Cara Belajar Yang Efektif dan Efisien, Pekalongan
: Cinta Ilmu.
Muhaimin, 2005, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama
Islam di Sekolah Madrasah dan Perguruan Tinggi, Jakarta : Raja Grafindo
Persada.
Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya, 1997, Strategi Belajar Mengajar,
Bandung : Pustaka Setia.
[3] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama
Islam di Sekolah Madrasah dan Perguruan Tinggi, Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2005, 23.
[4] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama
Islam di Sekolah Madrasah dan Perguruan Tinggi, 24.
[5] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama
Islam di Sekolah Madrasah dan Perguruan Tinggi, 25.
[6] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama
Islam di Sekolah Madrasah dan Perguruan Tinggi, 26.
0 komentar:
Posting Komentar